Sultra dalam Paradigma PMII: SDA untuk Konglomerat, Lumpur Bagi Jelata

Oyisultra.com, KENDARI – Sumber daya alam (SDA) seharusnya menjadi faktor utama terwujudnya pembangunan infrastruktur dan suprastruktur kesejahteraan masyarakat. Namun ironinya, sampai hari ini sebagian jalan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) berlumpur, sungai berlumpur, serta pemukiman kebanjiran akibat eksplorasi/eksploitasi SDA kita. Lalu pertanyaan besarnya, dimanaka kontribusi atas pengerukan sumber daya alam kita dalam menunjang anggaran daerah dalam pembangunan?

Sumber daya, (APBD dan Mineral) kita, pada akhirnya hanya hanya condong ke pejabat dan pemodal saja, tanpa melibatkan masyarakat lokal, yang pada akhirnya kesejahteraan rakyat di Sultra menjadi tanda tanya besar.

Sulawesi Tenggara, menjadi sentrum kekayaan sumber daya alam bahkan menempati urutan pertama perihal potensi cadangan nikel di dunia.

Potensi nikel, mestinya menjadi kekayaan alam daerah yang menopang kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara. Namun pada Realitanya hingga akhir tahun 2023, justru daerah lingkar tambang yang menjadi daerah dengan kategori kemiskinan ekstrem.

Lantas, kemanakah royalti pertambangan nikel tersebut? Bukan kah harusnya menjadi sumber anggaran membangun kesejahteraan?

Sebenarnya, pemerintah juga sudah berupaya memaksimalkan potensi nikel untuk memajukan kesejahteraan masyarakat sekitar, hanya saja dalam prosesnya ternyata dimanfaatkan oleh mafia- mafia tambang yang berasal tidak hanya dari korporasi tambang, bahkan juga melibatkan birokrasi dan juga oknum aparat penegak hukum.

Lantas, jika kebocoran royalti tambang ini tidak dikendalikan, maka akankah masyarakat hanya sekadar disajikan debu dari hilir mudik pertambangan nikel? Akankah kita hanya memberikan kemewahan pelayanan kepada para investor baik sejak berinvestasi hingga mereka menikmati hasil tambangnya?

Bukankah tidak adil jika hanya mengistimewakan satu pihak saja?. Pada akhirnya, nurani dan moral hazard pemerintah akan menjawab potensi nikel di Bumi Anoa ini, entah ini menjadi berkah ataukah bencana bagi daerah?.

Padahal kurang lebih 80 persen masyarakat lingkar tambang secara kultur maupun geografis sangat memiliki ketergantungan hidup pada penghasilan kekayaan sumber daya alam.

Sayangnya, dengan dibukanya investasi di daerah ini berimplikasi terhadap kelestarian lingkungan.
hal ini dapat dilihat dari tercemarnya perairan lingkar tambang, sehingga merusak ekosistem laut yang pada akhirnya para pencari nafkah di perairan tidak mampu lagi menopang kebutuhan hidupnya.

Selain itu, dengan gundulnya hutan memberikan dampak negative terhadap lahan perkebunan di sekitar tambang, apalagi ketika memasuki musim penghujan dimana terjadi genangan air termasuk di lahan perkebunan yang pada akhirnya menjadikan tanaman gagal panen.

Dalam pengelolaan sumber daya alam di Sultra pun kerap menyisahkan luka bagi masyarakat setempat, bahkan adu domba yang mengakibatkan terjadinya konflik horizontal, konflik tenurial antara investor (perusahaan) dan warga maupun warga dan pemerintah.

Seharusnya pemerintah lebih peka dalam melihat kehidupan sosial masyarakat yang di dukung dengan pengambilan kebijakan terhadap para pelaku investor di daerah demi kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, saya sebagai penulis berharap adanya langkah Konkret yang terukur perihal penertiban/pemberian sanksi terhadap perusahaan pertambangan di Sultra, di beberapa kabupaten, yakni di Kabupaten Konawe Utara, Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka utara dan Kabupaten Bombana.

Penulis : Sarwan SH, Ketua PKC PMII Sultra Bidang Eksternal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *